BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia
memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di antaranya
termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu
tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan
bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek
moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada
daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan),
dokumen Serat Primbon Jampi.
Dengan
melihat jumlah tanaman di Indonesia yang berlimpah dan baru 180 tanaman yang
digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri maka peluang bagi
profesi kefarmasian untuk meningkatkan peran sediaan herbal dalam pembangunan
kesehatan masih terbuka lebar. Standardisasi bahan baku dan obat jadi,
pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal
merupakan tantangan bagi farmasis agar obat herbal semakin dapat diterima oleh
masyarakat luas.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fitofarmaka?
2. Apa dasar pengembangan
fitofarmaka?
3. Bagaimana proses standarisasi
fitofarmaka?
4. Apa saja jenis uji fitofarmaka?
5. Apa saja bentuk sediaan
fitofarmaka?
6. Apa saja obat tradisional yang
dikembangkan menjadi fitofarmaka?
7. Apa saja produk fitofarmaka?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari
fitofarmaka.
2. Mengetahui dasar pengembangan
fitofarmaka.
3. Mengetahui proses standarisasi
fitofarmaka.
4. Mengetahui jenis uji fitofarmaka.
5. Mengetahui bentuk sediaan
fitofarmaka.
6. Mengetahui macam obat tradisional
yang dikembangkan menjadi fitofarmaka.
7. Mengetahui produk fitofarmaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fitofarmaka
Fitofarmaka
adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk
jadinya telah di standarisir (Badan POM. RI., 2004 ).
Dengan
uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat
herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk
menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara
ilimiah.
2.2 Dasar pengembangan fitofarmaka
2.2.1 Pedoman pengembangan
Fitofarmaka
•
Kep. Menkes RI No.760/MENKES/SK/IX/1992 ttg
Pedoman Fitofarmaka
•
SK Menkes RI No. 0584/MENKES/SK/VI/1995 ttg
Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional
•
Kep. Menkes RI no.56/MENKES/SK/I/2000 ttg
Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional
•
Kep. Kepala Badan POM RI no : HK.00.05.4.1380
tgl 2 Maret 2005 ttg Pedoman CPOTB
2.2.2 Dasar Pemikiran pengembangan
Obat Tradisional menjadi Fitofarmaka
Saat ini meskipun obat tradisional
cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication),
profesi kesehatan atau dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun
menggunakannya. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau
menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan
obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia
merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan
dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat. Untuk itulah
dikembangkan Obat Tradisional menjadi fitofarmaka.
2.3 proses standarisasi fitofarmaka
2.3.1 Kriteria Fitofarmaka
a. Aman dan sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan
b. Klaim khasiat harus dibuktikan
berdasarkan uji klinik
c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi
d. Memenuhi persyaratan mutu yang
berlaku
2.3.2Tahap-tahap pengembangan
dan pengujian fitofarmaka (Dep. Kes RI)
1. Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan
skala prioritas sebagai berikut:
· Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk
penyakit-penyakit utama
· Jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan
berdasar pengalaman pemakaian empiris sebelumnya
·Jenis OA yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan
untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
2. Tahap biological screening,
untuk menyaring:
·Ada atau tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang
mengarah ke khasiat terapetik (pra klinik in vivo)
·Ada/ tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas
jika ada, dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan
tersebut (pra klinik, in vivo)
3. Tahap penelitian
farmakodinamik
·Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing
sistem biologis organ tubuh
·Pra klinik, in vivo dan in
vitro,
·Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk
mengetahui mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.
4. Tahap pengujian toksisitas
lanjut (multiple doses)
· Toksisitas Subkronis
· Toksisitas akut
· Toksisitas khas/ khusus
5. Tahap pengembangan sediaan
(formulasi)
· Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu,
keamanan, dan estetika untuk pemakaian pada manusia.
Tata laksana teknologi farmasi
dalam rangka uji klinik
- Teknologi farmasi tahap awal
- Pembakuan (standarisasi):
simplisia, ekstrak , sediaan OA
- Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA
6. Tahap uji klinik pada
manusia
Ada 4 fase yaitu:
Fase 1 : dilakukan pada
sukarelawan sehat
Fase 2 : dilakukan pada kelompok
pasien terbatas
Fase 3 : dilakukan pada pasien
dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2
Fase 4: post marketing
survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang tidak terkendali saat
uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.
Yang terlibat
dalam pengujian
•
Komisi Ahli
Uji Fitofarmaka : menyusun & mengusulkan protokol uji fitofarmaka
•
Sentra Uji
Fitofarmaka : Instalasi pelayanan, spt Rumah Sakit, Laboratorium
Pengujian atau lembaga penelitian kesehatan
•
Pelaksana Uji
Fitofarmaka : Tim multidisipliner yg tdd dokter,apoteker dan tenaga ahli
lainnya yg mempunyai fasilitas, bersedia serta mampu melaksanakan uji
fitofarmaka
2.3.3 Keuntungan Strandarisasi
Fitofarmaka :
•
Menghasilkan
efek terapetik yang konsisten, reproducible & derajat keamanannya tinggi
(dosis terkontrol).
•
Semakin banyak
obat tradisional dengan efikasi klinis yang dapat diuji pra klinik maupun
klinik.
•
Kebanyakan uji
klinik telah menggunakan ekstrak terstandar.
2.4 Jenis Uji Fitofarmaka
1.
Uji toksisitas
Uji toksisitas
dibedakan menjadi tiga :
-Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah pengujian yang
dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat
ditoleransi hewan uji (menggunakan 2 spesies hewan uji).
pemberian obat dalam dosis tunggal dan diberikan melalui 2 rute pemberian
(misalnya oral dan intravena). hasil uji LD50 dan dosisnya akan ditransformasi
(dikonversi) pada manusia. (LD50 adalah pemberian dosis obat yang menyebabkan
50 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati oleh pemerian dosis tersebut)
- Uji Toksisitas Sub Akut
Uji toksisitas sub akut adalah pengujian
untuk menentukan organ sasaran tempat kerja dari obat tersebut, pengujian
selama 1-3 bulan, menggunakan 2 spesies hewan uji, menggunakan 3 dosis yang
berbeda. toksisitas
sub-akut sebagai adanya perubahan berat badan serta perubahan lainnya dari
hewan percobaan.
- Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama
dengan uji toksisitas sub akut, tapi pengujian ini dilakukan selama 6 bulan
pada hewan rodent (pengerat) dan non-rodent (bukan hewan pengerat). uji ini
dilakukan apabila obat itu nantinya diproyeksikan akan digunakan dalam jangka
waktu yang cukup panjang.
- Uji
farmakodinamik/efek farmakologik
Tahap ini
dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas penqaruh farmakologik pada
berbagai system biologik. Bila diperlukan , penelitian dikerjakan pada hewan
coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo.
Bila calon
fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap 2) dan dipandang
belum bias atau belum mungkin untuk dikerjakan pengujian farmakodinamik , maka
hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat
untuk lebih
lanjut. Tahap pengujian farmakodinamik akan lebih banyak tergantung pada sarana
dan prasarana yang ada, baik perangkat lunak maupun perangkat keras.
- Uji klinik
Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada
manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi
tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit,
pengobatan penyakit atau pengobatan segala penyakit.
Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:
- Memastikan keamanan dan manfaat klinik
fitofarmaka pada manusia dalam pencegahan atau pengobatan penyakit maupun
gejala penyakit.
- Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat
dipertanggung jawabkan keamanan dan manfaatnya.
2.5 bentuk
sediaan fitofarmaka
1.
Sediaan oral
adalah penggunaan obat yang bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik, yaitu
obat beredar melalui pembuluh darah keseluruh tubuh.
·
Kapsul adalah
Kapsul adalah bentuk sediaan obat yang terbungkus cangkang
kapsul, keras atau lunak.
Macam- macam kapsul
1)
Kapsul
cangkang keras (capsulae durae, hard capsul), contohnya kapsul tetrasiklin,
kapsul kloramfenikol dan kapsul Sianokobalami
2)
Kapsul
cangkang lunak (capsulae molles, soft capsule), contohnya kapsul minyak ikan
dan kapsul vitamin
Komponen kapsul
1. Zat aktif
obat
2. Cangkang kapsul
3. Zat tambahan
ü Bahan pengisi contohnya laktosa.
Sedangkan untuk obat yang cenderung mencair diberi bahan pengisi magnesium
karbonat, kaolin atau magnesium oksida atau silikon dioksida.
ü Bahan pelicin (magnesium stearat)
·
Serbuk adalah
campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk
pemakaian oral atau untuk pemakaian luar. (FI IV)
Penggolongan
:
1.
Serbuk Terbagi (Pulveres) Ialah sediaan berbentuk serbuk yang
dibagi-bagi dalam bentuk bungkusan dalam kertas perkamen.
2.
Serbuk Tak Terbagi (Pulvis) Ialah sediaan serbuk yang tidak terbagi
dalam peresepannya.
3.
Serbuk Tabur
Serbuk ringan untuk penggunaan
topikal, dapat dikemas dalam wadah yang bagian atasnya berlubang. Syarat :
melewati ayakan mesh 100.
·
Tablet adalah
sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi.
·
Pil dalam
Farmakope edisi III : Pil adalah suatu sedian berupa massa bulat mengandung
satu atau lebih bahan obat. Dalam buku ilmu meracik
obat : Pil adalah suatu sedian yang berbentuk bulat seperti kelereng mengandung
satu atau lebih bahan obat.
Macam-macam sedian pil
a.
Bolus : beratnya
lebih dari 300 mg
b. Pil : beratnya
sekitar 60 – 300 mg
c. Granul : beratnya
1/3 – 1 grain (1 grain = 64,8 mg)
d.
Parvul : beratnya
kurang dari 1/3 grain
·
Sirup adalah
sediaan pekat dalam air dari gula atau dari gula dengan atau tanpa penambahan
bahan pewangi dan zat obat. Sirup yang mengandung bahan pemberi rasa tapi tidak
mengandung zat-zat obat dinamakan pembawa bukan obat atau pembawa yang wangi
atau harum (sirup). Beberapa sirup bukan obat yang sebelumnya resmi antara
lain: sirup aktasia, sirup cerri, sirup coklat, sirup jeruk. Sirup ini
dimaksudkan sebagai pembawa yang memberikan rasa enak pada zat obat yang
ditambahkan kemudian, baik dalam peracikan resep secara mendadak atau dalam
pembuatan formula standart untuk sirup obat, yaitu sirup yang mengandung bahan
terapeutik atau bahan obat.
2.
Sediaan
topikal adalah obat yang digunakan pada kulit yang dimaksudkan untuk memperoleh
efek pada kulit atau di dalam kulit
·
Salep adalah
sediaan setengah padat untuk dipakai di kulit
Fungsi salep adalah :
1.
Pembawa obat
untuk pengobatan kulit
2.
Pelumas pada
kulit
3.
Pelindung
terhadap rangsang pada kulit, bakteri dan alergen
·
Krim adalah
sediaan setengah padat yang mengandung banyak air
·
Pasta adalah
suatu salep yang mengandung serbuk yang banyak seperti amilum dan ZnO. Bersifat
pengering. Bahan dasar pasta yang sering dipakai adalah: vaselin, lanolin,
adeps lanae, Ungt. Simplex, minyak lemak dan parafin liq. yang sudah atau belum
bercampur dengan sabun. Kelompok pertama dibuat dari gel fase tunggal
mengandung air misalnya Na-karboksimetilselulosa (Na-CMC). Kelompok lain adalah
pasta berlemak misalnya pasta Zn-oksida, merupakan salep yang padat, kaku,
tidak meleleh pada suhu tubuh, berfungsi sebagai lapisan pelindung pada bagian
yang diolesi. Pasta gigi digunakan untuk pelekatan pada selaput lendir agar
memperoleh efek lokal (misal, pasta gigi triamsinolon asetonida).
2.6 obat tradisional yang dikembangkan
menjadi fitofarmaka
Jenis-jenis
Obat Tradisional Yang dikembangkan Menjadi Fitofarmaka Sesuai lampiran
Permenkes RI No.760/Menkes/Per/IX/1992 tanggal 4 September 1992 berikut ini
adalah daftar obat tradisional yang
harus dikembangkan menjadi Fitofarmaka yaitu :
1.Antelmintik
2.Anti
ansietas (anti cemas)
3.Anti asma
4.Anti
diabetes (hipoglikemik)
5. Anti
diare
6. Anti
hepatitis kronik
7. Anti
herpes genitalis
8. Anti
hiperlipidemia
9. Anti
hipertensi
10. Anti
hipertiroidisma
11. Anti
histamin
12.Anti
inflamasi (anti Rematik)
13.Anti kanker
14.Anti malaria
15.Anti TBC
16.Antitusif /
ekspektoransia
17.Disentri
18.Dispepsia
(gastritis)
19.Diuretik
2.7 Produk Fitofarmaka
Saat ini di
Indonesia baru terdapat 5 fitofarmaka,
contoh produk fitofarmaka
yang sudah
beredar adalah:
1.Nodiar (anti diare) PT Kimia Farma (POM FF 031 500 361)
Komposisi:
Attapulgite 300 mg
Psidii Folium ekstrak 50 mg
Curcumae domesticae Rhizoma ekstrak 7,5 mg
2. Rheumaneer (pengurang nyeri) PT. Nyonya Meneer (POM FF 032 300 351)
Komposisi:
Curcumae domesticae Rhizoma 95 mg
Zingiberis Rhizoma ekstrak 85 mg
Curcumae Rhizoma ekstrak 120 mg
Panduratae Rhizoma ekstrak 75 mg
Retrofracti Fructus ekstrak 125 mg
3. Stimuno (peningkat sistem imun) PT Dexa Medica (POM FF 041 300 411, POM FF 041 600 421)
Komposisi:
Phyllanthi Herba ekstrak 50 mg
4. Tensigard Agromed (Anti hipertensi) PT Phapros ( POM FF 031 300 031, POM FF 031 300 041)
Komposisi:
Apii Herba ekstrak 95 mg
5. X-Gra PT Phapros (aphrodisiac) (POM FF 031 300 011, POM FF 031 300 021)
Komposisi:
Ganoderma lucidum 150 mg
Eurycomae Radix 50 mg
Panacis ginseng Radix 30 mg
Retrofracti Fructus 2,5 mg
Royal jelly 5 mg.
Komposisi:
Attapulgite 300 mg
Psidii Folium ekstrak 50 mg
Curcumae domesticae Rhizoma ekstrak 7,5 mg
2. Rheumaneer (pengurang nyeri) PT. Nyonya Meneer (POM FF 032 300 351)
Komposisi:
Curcumae domesticae Rhizoma 95 mg
Zingiberis Rhizoma ekstrak 85 mg
Curcumae Rhizoma ekstrak 120 mg
Panduratae Rhizoma ekstrak 75 mg
Retrofracti Fructus ekstrak 125 mg
3. Stimuno (peningkat sistem imun) PT Dexa Medica (POM FF 041 300 411, POM FF 041 600 421)
Komposisi:
Phyllanthi Herba ekstrak 50 mg
4. Tensigard Agromed (Anti hipertensi) PT Phapros ( POM FF 031 300 031, POM FF 031 300 041)
Komposisi:
Apii Herba ekstrak 95 mg
5. X-Gra PT Phapros (aphrodisiac) (POM FF 031 300 011, POM FF 031 300 021)
Komposisi:
Ganoderma lucidum 150 mg
Eurycomae Radix 50 mg
Panacis ginseng Radix 30 mg
Retrofracti Fructus 2,5 mg
Royal jelly 5 mg.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Fitofarmaka adalah sediaan obat
bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan
uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di
standarisir (Badan POM. RI., 2004 ).
2. Alasan utama keengganan profesi
kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti
ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih
kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu
digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh
masyarakat. Untuk itulah dikembangkan Obat Tradisional menjadi fitofarmaka.
3. Fitofarmaka harus memenuhi
beberapa kriteria, diantaranya :
a. Aman
dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
b. Klaim
khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
c. Telah
dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
d. Memenuhi
persyaratan mutu yang berlaku
4. produk- produk fitofarmaka
a. Nodiar
b. X-Gra
c. Stimuno
d. Tensigard
Agromed
e. Rheumaneer
3.2 SARAN
Kami harap dengan makalah ini
dapat memberikan informasi mengenai fitofarmaka sehingga pembaca dan penulis
dapat memanfaatkan obat-obat ini untuk meningkatkan kwalitas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C., 2008,Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi,UI-Press,Jakarta.
Widaryanto Eko, 2008,Tanaman
Obat Berkhasiat,Unit Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya,Malang.